Thursday, February 26, 2009

visual hardness


beberap bulan terakhir ini, ada kesamaan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya di Indonesia tercinta. Sejauh mata memandang, tatapan kita akan ‘dipaksa’ untuk memelototi fenomena visual baliho, spanduk, billboard Calon Legislatif (Caleg) dari berbagai parpol. Ada banyak ekspresi yang mencuat di media luar ruang tersebut, seolah mennyatu, melebur menajadi bagian elemen estetis sebuah kota atau bahkan pedesaan sekalipun. Mulai dari ekspresi yang innocent, protagonis, sampai tampang antagonis yang ‘sangar’. Mulai dari caleg anak muda, sampai ‘simbah kakung/putri’. Mulai dari pamer kumis, sampai pamer lipstik. Ada satu kalimat seragam, yang seolah harus ada di setiap media tersebut yaitu “mohon doa rebu dan dukungannya”.

Seandainya saja media-media luar ruang tersebut bisa dikemas lebih santun, entertain, estetis, maka tidak tertutup kemungkinan menambah indahnya tempat dimana dia dipasang. Tapi alih-alih memperindah, justru euforia menjelang pesta demokrasi malah membuat sakit di mata.

Tampang-tampang yang ambisius, dikemas, dipoles, biar terlihat ‘tuan baik hati’, atau ‘malaikat penolong’ yang dengan ‘niat suci’nya mau mengangkat rakyat kita dari derita bangsa yang berkepanjangan. Riya’, ujub, takabur, sombong, umbar janji, bercampur baur dengan ‘i'tikad baik’. Bagi caleg ‘beginer’ yang belum pernah menjabat, duduk di kursi empuk, menjanjikan perubahan dan harapan. Sementara bagi politikus gaek yang sudah merasakan empuknya kursi, mempertahankan posisinya dengan mengungkit dan mengungkap kinerjanya.

Rosulullah Muhammad SAW dalam sebuah hadits-nya pernah menyampaikan yang artinya kurang lebih, barang siapa menyerahkan suatu urusan pada orang yang bukan bidangnya… maka tinggal menunggu kehancurannya. Dewasa ini dengan makin banyaknya Parpol saja sudah bikin pusing, apalagi ditambah banyaknya caleg. Rakyat makin bingung, dan para ‘pengrajin partai’ (daripada nganggur), makin congkak. Politisi ‘karbitan’ makin merebak, dengan modal popularitas, kekayaan, status sosial, atau pimpinan organisasi, beramai-ramai mencoba terjun ke lembah perpolitikan. Meskipun tidak memiliki kapabilitas di bidang politik. “Untuk bangsa koq coba-coba!”.

Ada kalimat bijak yang disampaikan seorang sahabat dan ‘guru’ saya; “jangan serahkan jabatan pada orang yang meminta”. Sebagaimana Rosulullah mengangkat orang-orang pilihan, para sahabat, untuk menduduki jabatan gubernur di berbagai daerah, dan berhasil. Para sahabat tdak meminta jabatan tersebut, tapi hasil dari pengamatan, observasi, track record, yang sangat mungkin tidak disadari oleh para sahabat sendiri. Jika jabatan diserahkan pada ‘para pengemis’ yang memintanya, maka kecenderungannya menjadi ‘gumedhe’, merasa dibutuhkan… sehingga setelah menjabat, mau korupsi, mau menindas, dzolim, merasa wajar-wajar saja. Karena dia yang meminta dan rakyat memberikan. Akan beda hasilnya, jika rakyat yang meminta seseorang untuk menduduki jabatan tersebut, meski orang tadi tidak memintanya. Maka perasaan bahwa jabatan adalah amanah yang harus diemban, akan senantiasa memayungi setiap langkah, kebijakan, dan program yang dibuatnya.

Pertanyaannya, masih adakah para calon pemimpin, pejabat, legislatif, yang tidak meminta jabatan ? Jawabannya ada di dalam benak dan pikiran kita masing-masing! Dan kita adalah rakyat yang dengan sukarela menyerahkan sepenuhnya, amanah, jabatan, kepada para ’pengemis’ tersebut.


Labels: ,


Selanjutnya...