Monday, August 03, 2009

woman hardworker #2


sebagai salah satu negeri dengan perkembangan tercepat di dunia, Hongkong dituntut untuk selalu berubah dan berubah terus. Sehingga produk-produk fashion, komputer, kamera, handphone dan lain-lain daur hidupnya menjadi semakin pendek. Gak heran kalo sebuah majalah terbitan Malaysian Airlines merekomendasikan Hongkong sebagai salah satu tujuan shoping dengan harga yang 'masih bisa ditawar'. Mulai dari barang bermerk yang dijual kaki lima di kawasan Mongkok, hingga barang-barang elektronik bekas di Sam Sui Po. Jangan kaget kalo ketemu sebuah produk dengan tiga kali coretan harga, menjadi semakin murah. Produk fashion yang berada di dalam etalase mewah ditunggui pramuniaga, dalam waktu 3 bulan bisa pindah ke kotak depan menjadi barang obral. Dampak dari semua itu mempengaruhi life style penghuni Hongkong, hingga ke gaya hidup para TKW-nya. Seorang pembantu rumah tangga, sering ganti HP 3,5G yang bermerk, bahkan mampu membeli rok mini seharga jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah, lebih mahal dari rok mini yang dipakai majikannya.

Seorang pembantu 'anyaran', biasanya digaji kisaran 3.500 $HKD atau sekitar 4,5 juta rupiah dengan kontrak kerja per 2 tahun. Jika salah satu pihak menyalahi kontrak sebelum waktunya, maka keduanya bisaling tuntut menuntut. Baik majikan maupun pembantu. Ini salah satu aturan yang membedakan perlakuan para TKW di Malaysia. Setiap kali perpanjang kontrak, majikan punya kewajiban memberi bonus, hadiah dan juga kenaikkan gaji. Maka gak heran jika seorang TKW yang loyal pada majikannya selama belasan tahun, maka gajinya sudah mencapai puluhan juta rupiah. Dengan gepokan uang dolar di tangan para TKW tersebut, memancing beberapa institusi lokal Indonesia untuk membuka cabang di Hongkong. Mulai dari jasa perbankan (sebut saja Bank Mandiri, Bank BNI, dll), jasa asuransi, lembaga training, bahkan lembaga-lembaga sosial keagamaan. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut bukan buat mengasihani para TKW tapi justru untuk 'membantu' mereka 'menafaatkan' gepokan dolar tadi. Banyak cara yang dilakukan berbagai lembaga tersebut dalam hal "membantu memanfaatkan" uang para TKW yang kebanyakan masih lugu. Mulai dari iming-iming, janji, bahkan sampai berkesan menakut-nakuti. ALIF mencoba memberi pemahaman dan ketrampilan pada para teman-teman TKW lainnya agar tidak terlalu lugu, supaya bisa terhindar dari 'jebakan-jebakan' tersebut.
Sebenarnya sebelum ALIF lahir, telah muncul organisasi 'kakaknya' yang bernama FKMPU (Forum Komunikasi Muslimat Peduli Umat) dengan anggota yang lebih banyak dari anggota ALIF. Forum inilah sebenarnya yang lebih konsern dalam menggembleng angotanya dengan memberikan pembinaan moral spiritual. Agar para TKW tidak terjebak dalam hitamnya kehidupan Hongkong, dan agar tidak silau menatap gemerlap terangnya hingar-bingar Hongkong. Markas FKMPU di sebuah apartemen yang cukup luas dengan sewa puluhan juta rupiah sebulan, masih satu deret dengan apartemen ALIF di kawasan Couseway Bay. Dengan hanya beberapa orang saja yang masih berstatus TKW inilah yang terus dan terus memperjuangkan nasib para TKW tersebut dengan kendaraan FKMPU dan ALIF yang masing-masing memiliki media majalah bulanan. Fantastis!
Sebagian besar masalah TKW tidak hanya muncul di Hongkong, bahkan sering berkaitan dengan kondisi keluarga yang ditinggalkannya. Ada yang istrinya bekerja keras, mengumpulkan uang, sementara suaminya di kampung selingkuh atau bahkan nikah lagi. Ada yang bekerja menjadi TKW, sementara keluarganya di kampung menjadikannya sebagai mesin uang. Tidak boleh pulang kampung dulu sebelum rumahnya berlantai tiga, saudara-saudaranya sudah punya rumah semua, atau alasan lain yang dibuat oleh keluarganya. Maka ketika kontrak kerja habis, dan mereka kembali ke kampungnya, ke tengah-tengah keluarganya, tak ada lagi uang tersisa selain rumah-rumah yang mewah. Belum lagi faktor psikologis, termasuk perbedaan lingkungan yang drastis dari lingkungan Hongkong dengan gedung-gedung pencakar langit yang gemerlap, teratur, disiplin penduduknya... kembali ke kampung yang jorok, becek dan gelap. Juga sikap, pola pikir dan gaya hidup keluarga yang terasa 'tidak nyambung' dengan suasana Hongkong. Maka biasanya, TKW seperti ini tidak akan bertahan lama dikampungnya. Suasana Hongkong sudah menjadi candu, di sisi lain lingkungan asal dirasa kurang kondusif baginya. Hidup menjadi terasa asing di kampungnya sendiri, sementara uang juga susah dicari, bisa ditebak solusi pragmatisnya... menjadi TKW lagi. Meski tak bisa ke Hongkong lagi, ke Malaysia juga tak apa-apa.
Kenapa bisa seperti itu? siapa yang salah dalam hal ini? Tidak ada gunanya mencari kambing hitam. TKW juga harusnya memiliki jiwa wirausaha, agar uang hasil kerjanya tidak terbuang sia-sia, suami, keluarga, dan lingkungan juga seharusnya mendukung upaya tersebut. Lebih-lebih peran pemerintah, tidak cuman bisanya melarang-larang pengiriman TKW, tapi harus ada upaya konkrit memberikan pembinaan mental dan life skill (kecakapan hidup) yang sesuai potensi masing-masing TKW dan potensi kampung dimana mereka tinggal.
*Foto diambil dari Star Ferry pada malam puncak peringatan kemenangan Hongkong, 1 Juli 2009

3 Comments:

Blogger Waskita Jawi said...

heee

11:55 PM  
Blogger Subhan Afifi said...

kapan ya negeri kita adil sejahtera, sehingga anak bangsa gak perlu lagi ke negeri orang hanya untuk bertahan hidup...

11:34 AM  
Anonymous lily said...

hix3...hix h3bt pak cma s3kils di hk dah tau sam sui po ,x d3wk satu 1x pun durun9 p3rah m3n9ijk'kn kaki ksn...................a

7:06 PM  

Post a Comment

<< Home