Sunday, November 16, 2008

aesthetic


dengan agama, hidup menjadi terarah
dengan ilmu, hidup menjadi mudah
dengan seni, hidup menjadi indah

Ada bahasa yang universal, artinya bisa dimengerti buat semua manusia… yaitu ‘keindahan’. Hampir semua manusia, menyukai yang namanya keindahan atau estetis. Meskipun keindahan dalam wilayah seni adalah mutlak, namun demikian keindahan bukanlah segala-galanya. Jika seni bisa membuat hidup ini menjadi terasa indah, cerah-ceria, warna-warni, maka itu hanya sebuah variasi hidup. Bukan tujuan!.

RUUP barusan disahkan meki tetap mengundang pro-kontra. Para pemuja ‘keindahan’ yang tidak setuju dengan UU tersebut berdalih bisa membatasi kebebasan seni. Tubuh manusia adalah indah (dalam kacamata mereka) sehingga layak diungkapkan sebagai bahasa yang universal.

Tapi begitu menempatkan keindahan pada level pertama dan ’arah’ kehidupan pada level berikutnya, maka bisa ditebak... sesatlah adanya. Agama adalah penentu arah tujuan, dan ilmu yang memudahkan jalan menujunya. Begitu banyak para pemuja ’keindahan’ yang akhirnya terperosok dalam lembah kehinaan, karena tersesat dan tak punya arah tujuan.

Demikian juga betapa banyak para cerdik-cendekia, orang-orang yang kualitas keilmuannya tidak diragukan lagi, tapi justru menjadi trouble maker, koruptor, dan sebagainya. Hal tersebut bisa terjadi karena menempatkan ilmu sebagai ’imam’ dalam hidupnya, dan menempatkan agama sebagai ’makmum’.

Jika kita mampu menyinergikan tiga hal tersebut di atas, dan menempatkan masing-masing potensi pada posisi yang tepat, betapa terarah, mudah dan indahnya menjalani kehidupan ini. Masing-masing bisa overlapping, tumpang tindih, saling memengaruhi, namun tetap dalam koridor agama sebagai navigator kehidupan. Semoga.


Labels:


Selanjutnya...

Wednesday, November 05, 2008

child care


"di mana lagi bisa ditemukan peluk sayang ibu? ketika wanita lebih memilih berkarier, sementara kewajiban mengasuh anak diabaikan"

Fenomena urban culture dalam kungkungan kapitalisme yang mengglobal telah mendorong para wanita untuk keluar dari wilayah domestiknya. Sebenarnya sebagian wanita-wanita yang beruntung, karena telah tercukupi kebutuhan materinya dari sanag suami, atau orangtua atau mertua. Namun, mereka berbondong-bondong memasuki wilayah publik dengan bekerja dan berkarier bukan untuk 'mendapatkan' tetapi untuk 'menjadi'. Bukan karena ‘perlu’ tapi karena ‘ingin’ bekerja. Keinginan untuk diakui eksistensinya inilah yang memaksa para wanita-wanita ‘cerdas’ untuk meninggalkan anaknya yang masih balita. Ironisnya, mereka melakukan itu semua dengan alasan ‘demi masa depan anak’. Padahal perhatian, kasih sayang dan waktu yang berkualitas itulah yang sangat dibutuhkan bagi anak pada awal pertumbuhannya. Kompensasi sebagai “penebus dosa ibu” karena tidak bisa mengasuhnya secara total, maka anak di'sogok' dengan berbagai mainan, makanan bergizi, dan lain-lain.. Anak-anak dimanjakan dengan fasilitas fisik, sementara jiwanya kering dari perhatian dan kasih sayang yang tulus dari seorang ibu. Inilah kejahatan awal yang diajarkan oleh ibu kandungnya sendiri, yaitu mengkorupsi hak anak akan kasih sayang dan pengasuhan yang merupakan kewajiban hakiki seorang ibu.

“menangis bagi anak kecil adalah cara berkomunikasi, adakah seorang ibu yang sibuk mampu menangkap maknanya?”.

dekapan mesra seorang ibu, adalah tempat berlindung paling nyaman bagi anaknya”.


tuntunan dan bimbingan seorang ibu, menentukan kesuksesan masa depan anak”

memenuhi keinginannya dengan segala fasilitas bukanlah tindakan bijaksana, karena yang dibutuhkan adalah kasih sayang yang tulus dari seorang ibu”.

(sebagian dari media-media yang aku bikin buat Tugas Akhir kuliah kemaren)









Labels:


Selanjutnya...